BERITA TERKINI

PEMBAHARUAN AGRARIA POLA PENYELESAIAN KONFLIK


Oleh :

H. Albar S Subari ( Ketua Pembina Hukum Adat Sumatera Selatan / Peneliti Hukum Adat Indonesia ) dan


Marsal ( Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )

Muara Enim,Khatulistiwa News.com.
Dalam beberapa tahun terakhir ini terdengar1 kembali keluhan keluhan baik dari pihak penguasa perkebunan maupun dari petani, terutama pemilik yang kehilangan tanah. Keluhan penguasa timbul okeh karena buah kelapa sawit pada areal kebun inti diambil oleh sekelompok orang peserta petani plasma.

Selain itu terjadi pemagaran di lokasi perkebunan membuat rintangan atau menutup jalan jalan di lokasi perkebunan sehingga mengganggu dan menghentikan kegiatan di perkebunan itu. Sedang kan dari pihak petani mulai sadar bahwa tanah yang dijadikan kebun inti itu adalah tanah yang masih mereka akui sebagai tanah mereka, sehingga atas dasar itu mereka merasa boleh mengambil buah kelapa sawit disitu. Petani merasa tanah mereka itu belum pernah diperjualbelikan dengan pihak penguasa, yang ada adalah berupa ganti rugi tanam tumbuh di atas tanah mereka, dan menurut mereka besarnya ganti rugi itu tidak memadai dibanding kerugian yang harus mereka tanggung.

Alasan lain adalah alasan perut guna mempertahankan hidup, terutama dilakukan oleh sebagian dari mereka yang hanya berpenghasilan terbatas.
Berbagai kondisi di atas tidak saja merugikan penguasa akan tetapi juga merugikan petani itu sendiri.
Pertanyaan pokok adalah mengapa mereka berbuat seperti itu. Ternyata ada beberapa faktor yang menjadi pemicu antara lain :

1. Penghasilan kebun sawit kurang dari penghasilan rata rata, walaupun penghasilan rata rata itu tetap saja tidak cukup membiayai kebutuhan pokok keluarga. Apa lagi seperti sekarang semua biaya naik dan gangguan covid 19 yang tidak tahu kapan akan berakhir nya.

2.Keluarga yang bersangkutan tidak mempunyai hasil tambahan oleh karena tidak mempunyai lahan lain.

3.Bahwa asal usul lahan untuk kebun inti adalah tanah milik mereka dan diakui masih milik mereka, oleh karena itu mereka merasa boleh mengambil buah kelapa sawit di kebun inti.

4. Mulai timbul kesadaran di kalangan petani bahwa seharusnya mereka tidak kehilangan tanah.

5.Petani kurang dipersiapkan agar menjadi petani yang memahami dengan baik bagaimana mengelola kelapa sawit.

6. Pupuk yang mutlak harus digunakan oleh petani, menurut petani harganya terlalu tinggi, sebaliknya harga buah tidak menggembirakan petani.

7. Pola perkebunan dan berbagai aturan yang menyertainya tidak memihak atau melindungi petani pemilik tanah.

Permasalahan di atas baru dapat diselesaikan dengan tuntas bilamana pertama dan terutama pihak perusahaan menerapkan pola baru yang tidak hanya menguntungkan pengusaha, akan tetapi juga memberikan manfaat dan keuntungan bagi masyarakat petani dan pemerintah daerah yang bersangkutan.

Untuk itu berbagai aturan yang menyertai pola perkebunan harus disesuaikan dan seharusnya lebih memberikan perlindungan kepada petani demi memenuhi rasa keadilan dan kepatutan.
Contoh kita ambil dinegara tetangga Serawak. Di Serawak warga tidak kehilangan tanah, keberadaan tanah adat dihargai, tidak ada gejolak sebagai mana terjadi di negara kita, petani memperoleh penghasilan yang memadai dan oleh karena nya itu ekonomi meningkat, pemerintah sungguh sungguh tanpa pilih kasih membantu dan memihak kepada petani agar tidak menjadi objek eksploitasi semata.

Tanah adat mempunyai kedudukan yang penting dalam pelaksana perkebunan yaitu dihargai sebagai suatu saham yang berupa kan modal dari petani dalam kegiatan kerja sama perkebunan antara petani dan pengusaha. Orientasi tanah adat untuk perkebunan terutama adalah untuk kesejahteraan keluarga petani pemilik tanah, sedangkan pengusaha akan dengan sendirinya  memperoleh keuntungan termasuk pemerintah .Perolehan dividen dilakukannya dengan pembagian jelas, proporsional dan transparan antara petani, investor dan pemerintah.

Pengalaman di daerah Sarawak Malaysia Timur ini patut menjadi perhatian para pengusaha perkebunan terutama Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, bahkan pola dan ketentuan ketentuan yang berlaku di sana dapat diadopsi untuk dipakai du Indonesia khususnya di Sumatra Selatan.
Minimal untuk menentukan pola baru dalam hal usaha perkebunan.

Hal di atas sebenarnya sudah ditopang secara yuridis okeh Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 55/PUU-VIII/2010. Yang inti pertimbangan nya bahwa pemidanaan dalam sengketa perkebunan terutama dengan kepemilikan secara adat adalah inskonstitusional.  ( Baca dalam majalah Konstitusi no. 56 - September 2011)


Otonomi Daerah dan Masyarakat Adat identik dengan dua sisi koin mata uang. Secara umum masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan  Ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat dan disitu ada hukum.

Hal ini kemudian menjadi komponen penting dalam daerah otonomi itu sendiri. Karena otonomi merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berkaitan dengan agraria bahwa problem serius bagi Indonesia ke depan meski sudah 75 tahun usia kemerdekaan. Keberhasilan penataan agraria akan turut menentukan keberhasilan pembangunan Indonesia sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan Tahun 1945.

Disadari tampak jelas ruang agraria Indonesia nyaris tidak memberikan peluang kepada rakyat, termasuk masyarakat adat untuk menguasai dan mengelolanya demi kemakmuran rakyat. Yang terjadi, konflik agraria masih terbuka, yang umumnya menghadapkan rakyat dengan negara dan atau pemilik modal.

Berbagai kasus penggusuran, masalah sengketa tanah dan menempatkan petani pada posisi yang berhadap hadapan dengan negara. Oleh karena itu, memahami persoalan agraria tidak bisa hanya dilihat semata mata dengan perspektif ekonomi saja, tetapi juga harus memahami nya dalam berbagai situasi sosial dan kultural.

Sehingga perlu formulasi tentang model penataan kembali (reforma)  agraria yang tepat untuk kondisi Indonesia. Selama ini sudah ada kekeliruan karena tidak meletakkan masalah pertanahan sebagai basis pembangunan. Oleh karena itu sudah harus merubah paradigma pembangunan, khususnya pembangunan bidang agraria. Baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat tumbuh sikap kemendirian dan kemampuan mengorganisasikan diri agar mempunyai posisi tawar yang kuat.

Dalam konteks ini gerakan agraria pada hakekatnya adallah suatu usaha, upaya dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tatanan yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini penataan kembali agraria (landreform) harus meninggalkan filsafat paternalisme, yaitu dalam arti bukan atas dasar kedermawanan negara, tetapi sebagai hasil perjuangan rakyat secara terus menerus, berkelanjutan yang setiap langkah nya ke depan perlu dibentengi terutama terhadap kekuatan pasar bebas yang semakin meningkat yang lahir dari dinamika kapital yang menglobal dewasa ini.

Oleh karena itu dibutuhkan peran negara yang memiliki kekuatan untuk membentengi nafsu kapitalis (neoleberal) yang menglobal dewasa ini untuk membawa pada kemakmuran rakyat.

Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah salah satu recht idee (cita hukum) yang termuat dalam Pembukuan Undang Undang Dasar 1945 yang  disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tepat hari ini tanggal 18 Agustus 2020 Sebagai hari Konstitusi.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.