BERITA TERKINI

Pemidanaan Dalam UU Perkebunan : inkonstitusional


Oleh :

H. Albar S Subari ( Ketua Pembina Adat Sum Sel / Penelitian Hukum Adat Indonesia )


Marsal ( Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )

Muara Enim,Khatulistiwa News.com. (5/8/2020)
Akibat kebijakan semasa Pendudukkan Belanda, hingga kini sengketa antara petani penggarap dan pemilik perkebunan masih saja terjadi. Kondisi ini diperparah dengan terbitnya undang undang yang mengkriminalisasi petani (pasal 21 dan pasal 47 Undang Undang Nomor 18.tahun 2004 tentang Perkebunan).

Pasal 21 berbunyi : Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainnya, pengguna tanah perkebunan tanpa izin dan/tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 55/PUU-VIII/2010 telah menyatakan bahwa ketentuan pengamanan usaha perkebunan yang memiliki sanksi pidana adakah inskonstitusionil.

Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 21, unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainnya, merupakan rumusan pasal yang terlalu luas. Pasal tersebut memunculkan pertanyaan : siapa melakukan tindakan yang berakibat kerusakan kebun dan/aset lainnya milik siapa. Bagaimana kalau tindakan yang  berakibat pada kerusakan kebun kesengajaan atau kelalaian pemilik kebun sendiri ?. MK juga berpendapat, kata kata aset lainnya tidak memberikan batasan yang jelas. Sedangkan penjelasan pasal 21 menyebutkan Yang dimaksud dengan penggunaan tanah tanpa izin pemilik adalah tindakan okupasi tanpa izin pemilik sesuai dengan peraturan perundang undangan.

Bagi MK, tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik merupakan suatu kasus yang ada sejak masa Hindia Belanda. Ketika itu Hindia Belanda memberikan banyak konsesi tanah dalam bentuk hak erfpacht tanpa batas yang jelas, sehingga sering sekali melanggar hak ulayat atau dimiliki rakyat berdasarkan hukum adat (erfelijk individueel bezitrecht). Kondisi ini mengakibatkan konflik antara pemilik hak erfpacht dengeri masyarakat adat yang menguasai hak ulayat.
Beragam peraturan perundang undangan kemudian diterbitkan un tuk menyelesaikan kasus kasus tersebut. Pada intinya, ketentuan tersebut menganjurkan untuk menyelesaikan sengketa secara musyawarah.

MK menduga kasus kasus yang sekarang timbul di daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak hak baru yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang undangan. Karena itu MK berpendapat penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksudkan Pasal 47.ayat 2 tidak tepat dikenakan pada orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat. Sebab timbulnya hak hak adat berdasarkan ipso facto. Artinya seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif bahwa ia telah mengerjakan dalam waktu lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif. Sebaliknya, hubungan tanah dengan hak ulayat semakin melemah.

Adapun pemberian hak guna usaha atau hak pakai berdasarkan ipso jure, menurut MK berdasarkan diri ada peraturan perundang undangan. Untuk mengatasi persoalan sengketa pemilikan tanah perkebunan yang berhubungan dengan hak ulayat, menurut MK, seharusnya negara konsisten dengan penjelasan Pasal 9 ayat 2 Undang Undang Perkebunan tentang eksistensi masyarakat humum adat. Sedangkan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 5.ayat 1 menyatakan " Penelitian dan Penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat adat yang ada di daerah yang  bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) dan instansi instansi yang mengelola sumberdaya alam.

Jadi MK berpendapat sebelum dilakukan penelitian untuk memastikan keberadaan masyarakat hukum adat dengan batas wilayah nya yang jelas sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan pasal 9 ayat 2 undang undang perkebunan, sulit siapakah yang melanggar pasal 21  dan dikenakan sanksi pidana pasal 47 ayat 1 dan ayat 2 Undang Undang Perkebunan.

Ketidak jelasan rumusan pasal 21 yang diikuti dengan ancaman pidana pasal 47 tersebut menurut MK menimbulkan ketidak pastian hukum, yang berpotensi melanggar hak hak konstitusional warga negara. Kedua padahal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 . Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu bertentangan dengan prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak hak tradisional nya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.