BERITA TERKINI

Sekilas Mengenal Pasemah Lebar


Oleh :

H. Albar S Subari ( Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan / Peneliti Hukum Adat Indonesia ) dan


Marsal, ( Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )


Muara Enim.Khatulistiwa News.com.
Terletak di dataran tinggi  .Pasemah Lebar ini mempunyai kekhususan di dalam perkembangan nya. Di sana berkembang empat rumpun asli dan dua rumpun kemudian, yang selanjutnya di nama i SUMBAI yaitu terdiri atas :
1. Sumbai Besar
2. Sumbai Ulu Lurah
3. Sumbai Pangkal Lurah
4. Sumbai Mangku Anom
5. Sumbai Penjalang
6. Sumbai Semidang
Keenam kesatuan masyarakat diatas membentuk satu federasi yang selanjutnya disebut EMPAT AMPIT MARDIKA DUA..

Keempat sumbai pertama kemudian mengakui kekuasaan Sultan dengan suatu Piagam antara Sultan dan Lampit Ampat, sedangkan Sumbai Penjalang dan Semidang tetap tidak takluk pada pemerintah kesultanan dan baru kemudian ditaklukkan oleh Belanda  sekitar tahun 1866.

Federasi ini bukanlah merupakan kesatuan yang kokoh. Ia memutuskan dalam suatu sidang antara kepala Sumbai, kepala kepala suku (meliputi beberapa dusun) dan Proatin proatin (kepala tiap tiap dusun) dalam hal perselisihan yang serius antara sumbai, yang dapat menjelma antara sumbai sumbai sebagai peperangan yang membawa kemusnahan atau lain lain hal mengenai kepentingan bersama,keputusan keputusan mana dalam hal pelaksanaan nya kurang efektif.

Van Royen berkesimpulan bahwa di Pasemah Lebar ini pada mulanya berkembang kesatuan kesatuan geneologis, yang sudah menunjukkan ciri ciri suatu masyarakat hukum adat, yang sedikit banyak berjalan sendiri sendiri dan menjalankan kekuasaan politik (Untuk lebih lanjut baca buku Prof. Amrah Muslimin).
Antara suku suku kadang kadang terdapat faktor faktor saling memengaruhi baik dengan kekerasan/kecerdasan atau mufakat dan perdamaian.

Dari pendapat di atas dapat diambil simpul bahwa kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah atau sedang berkembang sebelum dan setelah berdirinya Pemerintah Kesultanan dan Pemerintah Belanda :.melakukan penyeragaman keadaan dan sikap terhadap masyarakat hukum tersebut.
Sejak dalam pemerintahan kesultanan, kemudian dilanjutkan Pemerintah  Belanda telah dilakukan penetapan penetapan batas batas teritorial Marga, yaitu dengan pemekaran pemekaran kesatuan tersebut dengan tidak menghiraukan lagi ikatan ikatan kekeluargaan (geneologis)  dalam satu teritorial tertentu, sehingga lama kelamaan yang menonjol sifat teritorial, apalagi kalau dalam satu teritorial tertentu bertempat tinggal berselang selih keturunan beberapa jurai, diantaranya ada yang dari luar, sehingga hubungan kekeluargaan hanyalah tinggal dalam ingatan ingatkan pribadi saja, tetapi secara politis dan pemerintahan boleh disebut tidak berfungsi lagi.

 Sebagai contohnya Sultan Tjindeh Balang (1632-1682) membagi daerah Bulang Tengah di pedalaman dalam marga marga teritorial Kasmaran Punjung, Sangah Desa, Semangus, Mandi Aur dan Bulung Tengah.
Dibawah Residen Palembang Pectorius (1830) Marga Besar Suku Lima mekar menjadi marga marga mandiri Gumai dan Mulak dan tiga marga lain.

Dibawah asisten Residen de Stutler, Marga Besar Bulang Tengah dimekarkan menjadi Marga Bulang Tengah Suku Ulu, Marga Bulang Tengah Suku Tengah dan Marga Bulang Tengah Suku Ilir.
Kalau boleh kita simpul Asalnya yang mengikat dalam suatu kesatuan dari beberapa aneka kesatuan yang ada adalah tali keturunan dari nenek moyang tertentu, yang dipimpin oleh anggota tertua dari rumpun yang bersangkutan.

Wibawa pemerintahan ke dalam tidaklah begitu kuat, yang kemudian justru meningkat karena pengaruh dari luar antara lain, usaha usaha rumpun lain saling menggagahi satu sama lain dan tindakan pemerintah yang mengintervensi yang sama sekali mengabaikan tali kekeluargaan, biarpun sekali sekali hal ini dimanfaatkan untuk kebijaksanaan tertentu.

Sifat genealogi  menjadi kabur menuju masyarakat geneologis teritorial yang akhirnya perjalanan sejarah sifat geneologis dari rumpun rumpun itu surut kebelakang dan dari pecahan pecahan dan percampuran rumpun rumpun tersebut timbul kesatuan masyarakat yang menonjol sifat teritorial nya.

Perkembangan mana dipercepat pula dari kebijaksanaan pemerintah yang pernah intervensi. Namun tidak menghapus kan kenyataan, bahwa dalam masyarakat masyarakat hukum teritorial ini terdapat golongan golongan kecil yang terikat oleh tali kekeluargaan yang masih kuat. Golongan golongan yang masih kuat inilah yang sebenarnya menjadi perhatian kita, kalau mau mengangkat dan melestarikan adat budaya mereka. Bukan berdasarkan ikatan teritorial buatan dari pemerintahan yang pernah bergaul dengan mereka.

Dalam bahasa lembaga Pembina Adat Sumsel adalah pemetaan marga berdasar pada marga generasi pertama. Kalau istilah pak Gubernur Sumsel adalah zone etnis. Untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi tetua adat, istilah beliau adalah PASIRAH ( baca tetua)  ADAT.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.