BERITA TERKINI

Struktur Pemerintahan Marga di Zaman Kolonial




Oleh :


H Albar S Subari ( Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan / Peneliti Hukum Adat Indonesia ) dan


Marsal, ( Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )


Muara Enim,Khatulistiwa News.com
Apa yg dapat kita telaah dari "Simbur Cahaya", tentang Marga  makna Pemerintahan, adalah sebagai berikut : Marga terdiri dari beberapa dusun:dusun terdiri dari beberapa kampung.

Marga diperintah oleh seorang PASIRAH yang dipilih secara langsung oleh warga marga itu, dan ditetapkan atau diangkat oleh "RAJA" dan diberi nama (gelar). Raja bermakna berbagai pengertian bisa raja zaman kolonial dengan sistem perwakilan di Hindia Belanda ataupun Raja zaman sebelumnya.
Dibawah Pasirah ditetapkan seorang Penggawa Marga, yang memerintah marga sewaktu pasirah tidak berada ditempat.

Kedudukan Penggawa Marga berdomisili di dusun pasirah berada diatas kepala kepala dusun lainnya. Dusun dikepalai oleh seorang yang disebut Pengandang di bawah Pengandang ditetapkan beberapa penggawa dusun menurut kebutuhan yaitu  menurut besar kecilnya dusun itu. Penggawa Marga dan Penyandang dipilih oleh warga dusundi mana mereka berada dan hasil pemilihan dibawa menghadap yang kuasa untuk diangkat. Sedangkan Penggawa Dusun diangkat oleh Pasirah atas usul Pengandang.

Disamping itu terdapat pengurus bidang Keagamaan yang penempatan nya bersamaan dengan pamong marga lainnya yaitu di tingkat Marga ditetapkan seorang " Lebai Penghulu " .sedang ditingkat dusun ditetapkan seorang Khatib dan ditingkat kampung ditetapkan seorang Kaum.

Tata cara pengangkatan Penghulu, Khatib, dan Kaum sama dengan tata cara pemilihan dan pengangkatan Pasirah, Pengandang, dan Penggawa Dusun.
Untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban secara bergilir dari warga dusun jumlahnya menurut kebutuhan. Penjaga keamanan lingkungan itu disebut Kemit.

Tampak oleh kita bahwa Simbur Cahaya telah berusaha penyeragaman  nama serta sistem pemerintahan yang berlaku di daerah daerah uluan Palembang.

Namun dibalik itu, kenyataan yang ada menunjuk kan bahwa yang telah diterima secara menyeluruh adalah sistem pemerintahan nya dan nama dari kesatuan masyarakat hukum itu ialah MARGA. Sedangkan nama nama jabatan dari penguasa, kebanyakan masih tetap memakai nama jabatan yang telah ada sebelumnya.

Sebagai contoh misalnya di daerah Kumoring, walaupun nama jabatan Pasirah resmi sudah ada, tetapi mereka tetap menyebut dan memakai nama pemimpin mereka itu dengan sebutan Kai-Pati untuk jabatan Penggawa Marga disebut Pembarab:untuk jabatan Pengandang mereka sebut Kai-Ria. Sedang di Musi ulu. Pengandang itu disebut Ginde dan ada pula daerah yang menyebut Ngabehi atsu Lurah, di samping nama Kerio.

Residen Palembang untuk mengatasi kenyataan di atas mengeluarkan Circulaire no 326 tanggal 27 Juli 1873 menetapkan nama nama jabatan di dalam Marga serta tata cara pemilihan serta syarat syaratnya. Disebut jabatan Pasirah bagi kepala Marga, dan Pembarab sebagai kepala dusun dimana Padirah berdomisili, sekaligus pemegang jabatan mewakili Pasirah jika berhalangan. Sedang untuk kepala dusun disebut KERIO, dan bagi seluruh jabatan di dalam lingkungan marga disebut PEROWATIN.

Mengenai syarat syarat untuk menduduki jabatan Pamong Marga itu disebutkan Antara lain adalah laki laki yang sudah berkeluarga dan pandai tulis baca, minimal tulusan surat ulu (rencong atau Ka-ga-nga yang  merupakan tulisan asli setempat.
Sembari saat dikeluarkan nya surat Residen Palembang tersebut, di Jawa telah timbul pemikiran untuk menerapkan sistem Pewarisan jabatan dari para kepala rakyat terutama para Bupati.

Sebagai persiapan nya direncanakan lah pendirian Lembaga Pendidikan bagi para putera putera kepala rakyat tersebut. Do Sumatera Selatan pada tahun1876.telah didirikan 3 buah sekolah yang masing masing di tempatkan di Muaradua (oku) di Tebing Tinggi (Empat Lawang dulu Lahat) dan di sungai Aur (seberang ulu kota Palembang.

Kesemuanya diperuntukkan mendidik para putera Pasirah (Depati)  di Sumatera Selatan . Namun secara struktural ke masyarakat an sudah berubah dari sistem geneologis ke sistem teritorial dimana telah berkumpul beberapa rumpun kepuhyangan yang masing masing telah melahirkan jurai tua sendiri sendiri, sistem pewarisan jabatan tidak berlaku.

Namun dibalik itu oleh karena umumnya yang menjadi calon kepala marga terdiri dsri tokoh tokoh masyarakat yang justru merupakan jurai tua dari masing masing kelompok  yang drcara historis merupakan jurai mereka yang pernah memegang kekuasaan Depati, maka terpilih pun diantara mereka. Hsl ini nampak nya yang kemudian hari menimbulkan kesan seolah olah Depati, Kepala Marga atau Pasirah didasarkan pada asas keturunan.

Tampaknya sekarang sejarah berulang dimasa pilkada di nusantara ini. Mudah mudahan kesan itu tinggal lah kesan yang penting kualitas yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia yang berasaskan NKRI.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.