Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )
Muara Enim,Khatulistiwa News.com - (03/10) Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diatur didalam Pasal 67. Pada pasal 67 ayat (1), aturan itu berbunyi sebagai berikut.
Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataan nya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang undang; dan
3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nya.
Sedangkan pada ayat (2) berbunyi sebagai berikut:
Pengukuhan keberadaan dan hapus nya masyarakat hukum adat, sebagai mana dimaksudkan pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Selanjutnya dalam memori penjelasan pasal 67 Undang Undang Kehutanan tersebut dikemukakan syarat syarat diakuinya masyarakat hukum adat. Penjelasan pasal 67 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataan memenuhi unsur, antara lain:
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenscharp);
2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat pengusaha adatnya:
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khusus nya peradilan adat, yang masih ditaati;dan
5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sedangkan penjelasan pasal 67 ayat (2) mengatakan bahwa; Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat,dan tokoh adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak yang terkait.
Karena itu, tidak dapat dibenarkan apabila hak Ulayat suatu masyarakat hukum adat setempat digunakan menghalang halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya menolak dibukanya hutan secara besar besaran untuk proyek proyek besar atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya (penjelasan umum II angka 3 UUPA).
Demikian juga tidak dapat dibenarkan apabila hak Ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang. Sebab hal ini apabila dibiarkan akan ada negara dalam negara (penjelasan umum II angka 3 UUPA).
Demikian apa yang dipaparkan Undang Undang Kehutanan mengenai hak Ulayat dan hak perseorangan,sama dan sesuai dengan apa yang terdapat dalam Undang Undang Pokok Agraria, yang pada dasarnya memberikan pengakuan Hak Ulayat dengan syarat keberadaan (eksistensi) hak Ulayat tersebut memang menurut kenyataan masih ada.
Dalam hal ini pelaksanaan nya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan Peraturan perundangan undangan yang lebih tinggi (penjelasan umum II angka 3 UUPA).
Tentu semua ketentuan perundangan undangan diatas masih mengandung beberapa pasal yang perlu direvisi mengingat kedua undang undang dimaksudkan diatas sudah cukup lama dibuat.
Undang Undang nomor 5 tahun 1960 dibuat dimasa awal kemerdekaan sedangkan undang undang nomor 41 tahun 1999 dibuat akhir orde baru memasuki orde reformasi tentu masih bernuansa sentralistik.
Sedangkan kita sekarang sudah memasuki masa desentralisasi , tentu harus dilakukan penyesuaian atas beberapa peraturan perundang-undangan yang ada.(redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar